Wednesday 14 July 2010

Customer Membeli Karena Apa ?

Ini adalah salah satu catatan penting untuk mengetahui tentang bagaimana customer harus diperhatikan..sisi lain yang mungkin tidak saya bayangkan sebelumnya.Semoga contoh kasus ini menjadi inspirasi buat kita semua..

Ketika brand Actual Basic muncul, saya langsung kontak Pak Roni untuk menjadi distributor.saya harus bergabung dan bekerjasama dengan yang terbaik! itu keyakinan saya… padahal waktu itu, sy belum tau bagaimana actualbasic itu, baik segi kualitas maupun harganya.
diawal bergabung mjd distributor, web kami sedang didevelop. dan alhamdulillah setelah dicantumkan di web AB, belum genap 20 hari pengunjung sudah hampir 1000. belum banyak memang, tp sy yakin insyaAlloh akan semakin ramai pengunjung maupun pembeli, juga calon agen Actual Basic
Chasan Aroma www.movicy.net

Testimoni di atas adalah fenomena menarik di balik lahirnya Actual Basic.
Sebagai brand baru, kemunculan Actual Basic cukup mengagetkan saya. Hanya dalam waktu 2 minggu stok di gudang sudah habis. Terpaksa pesanan harus inden dulu dan pendaftaran distributor baru ditutup sementara. Pabrik terpaksa harus membuka line baru untuk menambah kapasitas dengan cepat. Happy problem

Pertanyaan menarik di balik fenomena ini adalah, apa alasan customer atau distributor membeli?
Apakah karena disainnya? Tidak. Disain kami biasa-biasa saja.
Apakah karena kualitasnya? Juga tidak. Actual Basic tidak mengklaim diri sebagai yang terbaik kualitasnya.
Apakah karena nama saya di balik Actual Basic ini? Bisa ya bisa tidak. Kalau iya, tentunya seluruh member TDA otomatis menjadi mitra Manet dong
Lantas, karena apa?
Customer membeli dengan hati, kata Robin Sharma.

“Jika anda menjalankan bisnis, salah satu hal terpenting yang saya sarankan adalah agar anda mempertimbangkan ide bahwa orang tidak membeli dengan pikirannya, tetapi lebih banyak dengan hatinya. Kompetisi di dunia bisnis saat ini bukan memperebutkan uang customer. Sama sekali tidak. Satu-satunya kompetisi yang nyata adalah memperebutkan emosi mereka. Sentuhlah hati para customer yang anda layani dan mereka akan datang lagi”, tulis Robin Sharma dalam salah satu artikelnya.

Pak Chasan dan distributor Actual Basic lainnya secara emosi mungkin merasa nyaman dengan kami. Saya tidak mengklaim, tapi mungkin kata kuncinya adalah: TRUST. Trust ada di level emosional dan tak bisa diukur secara matematis.
Ada yang berpendapat, “Terang aja, personal branding Pak Roni sudah bagus”. Mungkin iya, tapi sekali lagi personal branding itu juga adalah bentuk lain dari trust.
Dengan adanya ikatan emosional dalam bentuk trust itu, bisnis jadi lebih mudah.

Sumber : Disadur dari Roni Yuzirman Blog.

Tuesday 6 July 2010

Marketing Pakai Daun ala Pustaka Lebah

Beruntung sekali minggu lalu saya dikenalkan dengan Pak Sundoro, pemililik Pustaka Lebah oleh Pak Imam Suyono dari Virtual Consulting. Saya jadi mengenal sebuah bisnis yang menurut saya dikelola secara unik namun berhasil.
Pustaka Lebah.

Ada pernah mendengar nama ini? Bagi yang belum, mungkin pernah mendengar nama Pustaka Tigaraksa. Itu lho, perusahaan yang jualan ensiklopedia dengan cara direct selling.
Nah, Pustaka Lebah adalah seperti itu. Bedanya, buku yang dijual hanya untuk anak-anak dan asli produk lokal. Ya, semuanya dikerjakan oleh orang Indonesia. Mulai dari kontennya, gambar, sampai distribusinya. Kualitas gambarnya itu yang mengagumkan saya. Tidak kalah dengan produk sejenis dari luar. Ini yang membuat saya beruntung dikenalkan oleh Pak Imam. Ternyata ada orang Indonesia yang “iseng” membuat pekerjaan yang serius seperti ini
Saya juga merasa beruntung karena diperkenalkan dengan konsep marketing dan pengelolaan perusahaan yang unik. Perusahaannya dikelola dengan begitu efisien alias budget concern. Maklum Pak Sundoro ini berlatar belakan akunting, kuat sekali hitung-hitungannya. Ia tidak mau berkompromi dengan pengeluaran apa pun yang tidak perlu.

Saya tidak menyangka, di balik produk yang begitu mempesona tampilannya itu dikerjakan di kantor yang begitu sederhana. Kualitasnya tidak kalah dengan produksi Gramedia, tapi jangan bayangkan kantornya itu secanggih dan semewah Gramedia. Tapi, justru inilah keunggulannya. Cost-nya jadi sangat kecil. Meski begitu, size perusahaannya sudah cukup besar. Ratusan karyawan yang dinaunginya sudah cukup menjelaskan size bisnisnya.

Yang menarik lagi adalah kebijakan marketingnya. Pak Sundoro juga penganut zero atau low budget marketing yang ia istilahkan “marketing pakai daun
“Pokoknya saya nggak mau ngeluarin duit untuk marketing”, ujarnya. “Kalau pakai daun alias gratisan, sya mau”.
“Lho, kan bapak suka ikutan pameran atau pasang iklan?”, tanya saya.
“Iya, tapi kalau bayar saya nggak mau”, jawabnya. “Saya ikut pameran kalau gratis, pasang iklan pun nggak mau yang bayar, kecuali barter”.
“Oooo”, saya pun nyengir. Tepat sekali saya bertemu sosok ini. Kebetulan saya lagi memulai Actual Basic, sebuah brand baru dengan anggaran yang juga low, tapi tidak zero.

Cerita ini menggambarkan bahwa kalau kita sudah punya prinsip dan yakin dengan prinsip itu, cara-caranya akan ketemu dengan sendirinya. Yang penting WHY-nya dulu, HOW-nya akan nyusul belakangan. Ini nyata terjadi di perusahan Pak Sundoro ini.
Belakangan ini saya sering membaca dan berdiskusi dengan pakar marketing yang mendorong untuk melakukan low budget but high impact marketing. Kalau bisa dengan low budget, kenapa harus sok-sokan dengan high budget? Yang penting kan impactnya? Demikian kata seorang teman. Iya juga ya.

Perusahaan yang sudah mulai punya duit, memang cenderung gak mau pusing, mau gampangnya aja. Pasang iklan sana sini dengan anggaran besar tanpa mau berpikir lebih kreatif untuk melalukan upaya-upaya kreatif namun menghasilkan.
Seperti sudah saya ceritakan kemarin, ternyata banyak sekali cara yang murah meriah untuk meraih kesuksesan marketing. Yang penting kita open minded dan selalu mencoba hal-hal baru.
Pertemuan dengan Pak Sundoro ini betul-betul membuka mata saya untuk selalu mencoba hal-hal baru dengan kreativitas dan inovasi.

Salam Sukses Mulia!

sumber : Disadur dari Roni Yuzirman Blog.