Thursday 25 November 2010

9 Nasehat Jay Abraham Untuk Bisnis Pemula

Ini ada artikel menarik, perlu dibaca untuk pebisnis baru.Semoga bermanfaat.

Rasanya nggak perlu cerita lagi siapa itu Jay Abraham, googling aja. Pokoknya dia orang hebat di dunia bisnis dan marketing. apa pun yang disarankannya, sebaiknya dengarkan dan praktekkan saja. No question.
Ini saya temukan beberapa nasehatnya yang berguna untuk bisnis pemula. Namun nampaknya juga berguna bagi yang sudah mapan berbisnis sekedar mengingatkan kembali.

1. Anda harus mengembangkan kemampuan untuk melihat kebutuhan dan keinginan konsumen
2. Anda harus menemukan kesenjangan di dalam pasar (market gap), antara permintaan dan persediaan.
3. Anda harus segera memulai
4. Anda harus memulainya dari yang kecil
5. Anda harus menetapkan harga yang cukup untuk menutupi biaya-biaya operasioal dan menyisakan laba operasi yang cukup untuk bertahan dan bertumbuh
6. Anda harus jujur dan menjaga integritas. Selalu. Di dalam semua perjanjian dan transaksi
7. Anda harus mendapatkan dan membuat pelanggan kembali, lagi, lagi dan lagi....
8. Anda harus menetapkan filosofi bisnis yang berkomitmen kepada kualitas dan layanan tingkat tinggi
9. Anda harus menginvestasikan kembali uang yang diperoleh untuk pertumbuhan perusahaan

Selamat memulai bisnis!

Sumber : Disadur dari Roni Yuzirman Blog.

Wednesday 14 July 2010

Customer Membeli Karena Apa ?

Ini adalah salah satu catatan penting untuk mengetahui tentang bagaimana customer harus diperhatikan..sisi lain yang mungkin tidak saya bayangkan sebelumnya.Semoga contoh kasus ini menjadi inspirasi buat kita semua..

Ketika brand Actual Basic muncul, saya langsung kontak Pak Roni untuk menjadi distributor.saya harus bergabung dan bekerjasama dengan yang terbaik! itu keyakinan saya… padahal waktu itu, sy belum tau bagaimana actualbasic itu, baik segi kualitas maupun harganya.
diawal bergabung mjd distributor, web kami sedang didevelop. dan alhamdulillah setelah dicantumkan di web AB, belum genap 20 hari pengunjung sudah hampir 1000. belum banyak memang, tp sy yakin insyaAlloh akan semakin ramai pengunjung maupun pembeli, juga calon agen Actual Basic
Chasan Aroma www.movicy.net

Testimoni di atas adalah fenomena menarik di balik lahirnya Actual Basic.
Sebagai brand baru, kemunculan Actual Basic cukup mengagetkan saya. Hanya dalam waktu 2 minggu stok di gudang sudah habis. Terpaksa pesanan harus inden dulu dan pendaftaran distributor baru ditutup sementara. Pabrik terpaksa harus membuka line baru untuk menambah kapasitas dengan cepat. Happy problem

Pertanyaan menarik di balik fenomena ini adalah, apa alasan customer atau distributor membeli?
Apakah karena disainnya? Tidak. Disain kami biasa-biasa saja.
Apakah karena kualitasnya? Juga tidak. Actual Basic tidak mengklaim diri sebagai yang terbaik kualitasnya.
Apakah karena nama saya di balik Actual Basic ini? Bisa ya bisa tidak. Kalau iya, tentunya seluruh member TDA otomatis menjadi mitra Manet dong
Lantas, karena apa?
Customer membeli dengan hati, kata Robin Sharma.

“Jika anda menjalankan bisnis, salah satu hal terpenting yang saya sarankan adalah agar anda mempertimbangkan ide bahwa orang tidak membeli dengan pikirannya, tetapi lebih banyak dengan hatinya. Kompetisi di dunia bisnis saat ini bukan memperebutkan uang customer. Sama sekali tidak. Satu-satunya kompetisi yang nyata adalah memperebutkan emosi mereka. Sentuhlah hati para customer yang anda layani dan mereka akan datang lagi”, tulis Robin Sharma dalam salah satu artikelnya.

Pak Chasan dan distributor Actual Basic lainnya secara emosi mungkin merasa nyaman dengan kami. Saya tidak mengklaim, tapi mungkin kata kuncinya adalah: TRUST. Trust ada di level emosional dan tak bisa diukur secara matematis.
Ada yang berpendapat, “Terang aja, personal branding Pak Roni sudah bagus”. Mungkin iya, tapi sekali lagi personal branding itu juga adalah bentuk lain dari trust.
Dengan adanya ikatan emosional dalam bentuk trust itu, bisnis jadi lebih mudah.

Sumber : Disadur dari Roni Yuzirman Blog.

Tuesday 6 July 2010

Marketing Pakai Daun ala Pustaka Lebah

Beruntung sekali minggu lalu saya dikenalkan dengan Pak Sundoro, pemililik Pustaka Lebah oleh Pak Imam Suyono dari Virtual Consulting. Saya jadi mengenal sebuah bisnis yang menurut saya dikelola secara unik namun berhasil.
Pustaka Lebah.

Ada pernah mendengar nama ini? Bagi yang belum, mungkin pernah mendengar nama Pustaka Tigaraksa. Itu lho, perusahaan yang jualan ensiklopedia dengan cara direct selling.
Nah, Pustaka Lebah adalah seperti itu. Bedanya, buku yang dijual hanya untuk anak-anak dan asli produk lokal. Ya, semuanya dikerjakan oleh orang Indonesia. Mulai dari kontennya, gambar, sampai distribusinya. Kualitas gambarnya itu yang mengagumkan saya. Tidak kalah dengan produk sejenis dari luar. Ini yang membuat saya beruntung dikenalkan oleh Pak Imam. Ternyata ada orang Indonesia yang “iseng” membuat pekerjaan yang serius seperti ini
Saya juga merasa beruntung karena diperkenalkan dengan konsep marketing dan pengelolaan perusahaan yang unik. Perusahaannya dikelola dengan begitu efisien alias budget concern. Maklum Pak Sundoro ini berlatar belakan akunting, kuat sekali hitung-hitungannya. Ia tidak mau berkompromi dengan pengeluaran apa pun yang tidak perlu.

Saya tidak menyangka, di balik produk yang begitu mempesona tampilannya itu dikerjakan di kantor yang begitu sederhana. Kualitasnya tidak kalah dengan produksi Gramedia, tapi jangan bayangkan kantornya itu secanggih dan semewah Gramedia. Tapi, justru inilah keunggulannya. Cost-nya jadi sangat kecil. Meski begitu, size perusahaannya sudah cukup besar. Ratusan karyawan yang dinaunginya sudah cukup menjelaskan size bisnisnya.

Yang menarik lagi adalah kebijakan marketingnya. Pak Sundoro juga penganut zero atau low budget marketing yang ia istilahkan “marketing pakai daun
“Pokoknya saya nggak mau ngeluarin duit untuk marketing”, ujarnya. “Kalau pakai daun alias gratisan, sya mau”.
“Lho, kan bapak suka ikutan pameran atau pasang iklan?”, tanya saya.
“Iya, tapi kalau bayar saya nggak mau”, jawabnya. “Saya ikut pameran kalau gratis, pasang iklan pun nggak mau yang bayar, kecuali barter”.
“Oooo”, saya pun nyengir. Tepat sekali saya bertemu sosok ini. Kebetulan saya lagi memulai Actual Basic, sebuah brand baru dengan anggaran yang juga low, tapi tidak zero.

Cerita ini menggambarkan bahwa kalau kita sudah punya prinsip dan yakin dengan prinsip itu, cara-caranya akan ketemu dengan sendirinya. Yang penting WHY-nya dulu, HOW-nya akan nyusul belakangan. Ini nyata terjadi di perusahan Pak Sundoro ini.
Belakangan ini saya sering membaca dan berdiskusi dengan pakar marketing yang mendorong untuk melakukan low budget but high impact marketing. Kalau bisa dengan low budget, kenapa harus sok-sokan dengan high budget? Yang penting kan impactnya? Demikian kata seorang teman. Iya juga ya.

Perusahaan yang sudah mulai punya duit, memang cenderung gak mau pusing, mau gampangnya aja. Pasang iklan sana sini dengan anggaran besar tanpa mau berpikir lebih kreatif untuk melalukan upaya-upaya kreatif namun menghasilkan.
Seperti sudah saya ceritakan kemarin, ternyata banyak sekali cara yang murah meriah untuk meraih kesuksesan marketing. Yang penting kita open minded dan selalu mencoba hal-hal baru.
Pertemuan dengan Pak Sundoro ini betul-betul membuka mata saya untuk selalu mencoba hal-hal baru dengan kreativitas dan inovasi.

Salam Sukses Mulia!

sumber : Disadur dari Roni Yuzirman Blog.

Tuesday 1 June 2010

Jadilah Pemalas Yang Produktif

Ini artikel yang cukup menarik,dari judulnya saja membuat orang bertanya-tanya 'kok bisa males tapi produktif' atau gimana caranya males-malesan tapi punya duit banyak...Siapa sih yang gak kepengen dengan kerja santai tapi menghasilkan duit banyak..

Banyak yang suka. Banyak juga yang bertanya, bagaimana caranya?
Ada juga yang menulis bahwa kata-kata ini “gue banget”. Artinya dia memang “pemalas” tapi ingin produktif.
How come? Ini sebuah pernyataan yang bertentangan.
Bagi yang senang dengan teori paradoks seperti saya, pasti dengan mudah menganggukkan kepala, mengiyakan.
Apakah dengan menjadi rajin otomatis produktif? Belum tentu. Banyak orang yang bekerja begitu rajin, tapi hasilnya begitu-begitu saja. He’s going now where. Dengan menganggap diri rajin maka otomatis produktif adalah tidak tepat.
Barangkali saja ia selama ini “rajin melakukan yang salah”.
Yang dimaksud dengan “malas yang produktif” itu sebenarnya adalah soal efektifitas.
Less is more, begitu jargon yang sering saya dengar sekarang. Less work tidak berarti less result kalau dilakukan dengan efektif. More work tidak berarti more result kalau tidak efektif.
Untuk menjadi pemalas yang produktif, kita harus fokus kepada pekerjaan-pekerjaan yang efektif dan menghasilkan big impact saja.

Bagi saya, pekerjaan berpikir, berimajinasi, membuat rencana dan strategi adalah jauh lebih efektif ketimbang “melakukan sesuatu” seperti menerima telepon, berkeliling Jakarta yang macet, mengurus tetek-bengek dan sebagainya.
Saya lebih senang duduk tenang mengamati dari jauh ketimbang terlibat. Dengan begitu saya punya waktu untuk menganalisa dan bertanya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan strategis.
Otak kita jangan sampai terpola dengan rutinitas. Bagi entreprenur, rutinitas adalah jebakan yang bisa membunuh kreativitas dan inovasi yang menjadi tulang punggung keberhasilan bisnis saat ini.

Jadi, sebelum terlibat melakukan sesuatu, saya selalu bertanya, apakah ini strategis untuk saya lakukan? Apakah ini akan menghasilkan big impact?
Namun, dalam prakteknya jangan gegabah. Di awal bisnis, hal ini belum bisa dipraktekkan. Saat memulai, kita harus terlibat sepenuhnya dalam setiap proses, sampai sedetil mungkin. Pertahankan sampai ketemu “polanya” lalu buat sistim untuk mengotomatisasi danmenduplikasikannya.

Para ahli manajemen juga menganjurkan hal yang sama dengan istilah yang berbeda. Stephen Covey menggunakan istilah “first thing first”, Malcolm Gladwell dengan istilah “tipping point”, Richard Koch paling senang mengkampanyekan prinsip “pareto 80/20″. Istilah “leveraging” atau “pengungkit” juga sering digunakan untuk menjadi pemalas yang produktif ini.
Para pemalas yang produktif pasti menggunakan pengungkit sebagai alat bantunya. Alat ungkit itu di antaranya adalah: waktu, kapital, sumber daya, ilmu, skill, pengalaman, teknologi dan sebagainya yang jumlahnya berlimpah tak terbatas. Namun, daya ungkit yang utama menurut Robert G. Allen, penulis buku terlaris “Nothing Down” adalah pikiran kita sendiri. Dari sinilah semuanya bermula dalam bentuk impian, imajinasi dan keyakinan.

Fred Gratzon dalam buku The Lazy Way to Success menyarankan untuk mencari keefektifan dengan menemukan yang subtil atau inti dari setiap permasalahan. Level yang subtil bukanlah di permukaan, tapi justru di dalam, lebih sederhana dan halus. Ketika yang subtil sudah ditemukan, penyelesaian masalah yang berat akan jadi lebih mudah dan ringan. Kita tidak perlu bekerja keras ketika sudah menemukan yang subtil ini.
Semua orang mendapat jatah 24 jam sehari. Tapi kenapa hasilnya berbeda? Orang yang berhasil pasti menggunakan waktu dan energinya lebih efektif dan menghasilkan big impact dibandingkan yangbiasa-biasa saja. Mereka sebetulnya adalah para pemalas, pemalas yang produktif. Para pemalas yang tak ingin waktunya menguap begitu saja tanpa hasil yang berarti.

Disadur dari : Roni Yuzirman Blog