Tuesday 1 June 2010

Jadilah Pemalas Yang Produktif

Ini artikel yang cukup menarik,dari judulnya saja membuat orang bertanya-tanya 'kok bisa males tapi produktif' atau gimana caranya males-malesan tapi punya duit banyak...Siapa sih yang gak kepengen dengan kerja santai tapi menghasilkan duit banyak..

Banyak yang suka. Banyak juga yang bertanya, bagaimana caranya?
Ada juga yang menulis bahwa kata-kata ini “gue banget”. Artinya dia memang “pemalas” tapi ingin produktif.
How come? Ini sebuah pernyataan yang bertentangan.
Bagi yang senang dengan teori paradoks seperti saya, pasti dengan mudah menganggukkan kepala, mengiyakan.
Apakah dengan menjadi rajin otomatis produktif? Belum tentu. Banyak orang yang bekerja begitu rajin, tapi hasilnya begitu-begitu saja. He’s going now where. Dengan menganggap diri rajin maka otomatis produktif adalah tidak tepat.
Barangkali saja ia selama ini “rajin melakukan yang salah”.
Yang dimaksud dengan “malas yang produktif” itu sebenarnya adalah soal efektifitas.
Less is more, begitu jargon yang sering saya dengar sekarang. Less work tidak berarti less result kalau dilakukan dengan efektif. More work tidak berarti more result kalau tidak efektif.
Untuk menjadi pemalas yang produktif, kita harus fokus kepada pekerjaan-pekerjaan yang efektif dan menghasilkan big impact saja.

Bagi saya, pekerjaan berpikir, berimajinasi, membuat rencana dan strategi adalah jauh lebih efektif ketimbang “melakukan sesuatu” seperti menerima telepon, berkeliling Jakarta yang macet, mengurus tetek-bengek dan sebagainya.
Saya lebih senang duduk tenang mengamati dari jauh ketimbang terlibat. Dengan begitu saya punya waktu untuk menganalisa dan bertanya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan strategis.
Otak kita jangan sampai terpola dengan rutinitas. Bagi entreprenur, rutinitas adalah jebakan yang bisa membunuh kreativitas dan inovasi yang menjadi tulang punggung keberhasilan bisnis saat ini.

Jadi, sebelum terlibat melakukan sesuatu, saya selalu bertanya, apakah ini strategis untuk saya lakukan? Apakah ini akan menghasilkan big impact?
Namun, dalam prakteknya jangan gegabah. Di awal bisnis, hal ini belum bisa dipraktekkan. Saat memulai, kita harus terlibat sepenuhnya dalam setiap proses, sampai sedetil mungkin. Pertahankan sampai ketemu “polanya” lalu buat sistim untuk mengotomatisasi danmenduplikasikannya.

Para ahli manajemen juga menganjurkan hal yang sama dengan istilah yang berbeda. Stephen Covey menggunakan istilah “first thing first”, Malcolm Gladwell dengan istilah “tipping point”, Richard Koch paling senang mengkampanyekan prinsip “pareto 80/20″. Istilah “leveraging” atau “pengungkit” juga sering digunakan untuk menjadi pemalas yang produktif ini.
Para pemalas yang produktif pasti menggunakan pengungkit sebagai alat bantunya. Alat ungkit itu di antaranya adalah: waktu, kapital, sumber daya, ilmu, skill, pengalaman, teknologi dan sebagainya yang jumlahnya berlimpah tak terbatas. Namun, daya ungkit yang utama menurut Robert G. Allen, penulis buku terlaris “Nothing Down” adalah pikiran kita sendiri. Dari sinilah semuanya bermula dalam bentuk impian, imajinasi dan keyakinan.

Fred Gratzon dalam buku The Lazy Way to Success menyarankan untuk mencari keefektifan dengan menemukan yang subtil atau inti dari setiap permasalahan. Level yang subtil bukanlah di permukaan, tapi justru di dalam, lebih sederhana dan halus. Ketika yang subtil sudah ditemukan, penyelesaian masalah yang berat akan jadi lebih mudah dan ringan. Kita tidak perlu bekerja keras ketika sudah menemukan yang subtil ini.
Semua orang mendapat jatah 24 jam sehari. Tapi kenapa hasilnya berbeda? Orang yang berhasil pasti menggunakan waktu dan energinya lebih efektif dan menghasilkan big impact dibandingkan yangbiasa-biasa saja. Mereka sebetulnya adalah para pemalas, pemalas yang produktif. Para pemalas yang tak ingin waktunya menguap begitu saja tanpa hasil yang berarti.

Disadur dari : Roni Yuzirman Blog